PERANAN AKIDAH DALAM MEMBINA MANUSIA 3
Peranan Akidah 2
Dari sisi lain, akidah Islam memandang kesalahan bukan karakter inheren manusia. Kesalahan adalah sebuah realita yang berada di luar diri manusia. Oleh karena itu, ketika manusia jatuh ke dalam jurang kesalahan, ia tidak akan berubah menjadi syetan yang tidak mungkin menjadi manusia kembali. Akan tetapi, ia tetap menyandang gelar manusia, manusia yang bersalah, dan pintu taubat masih terbuka lebar baginya guna memperbaiki kesalahannya itu.
Ini adalah rahasia pandangan Islam yang agung terhadap manusia. Islam tidak menakut-takutinya dengan teori keinherenan kesalahan, sebagaimana yang diyakini oleh para pemeluk agama Kristen. Islam selalu berusaha untuk mengeluarkan manusia dari lembah kesalahan, mendorongnnya untuk selalu mengangkat nilai dirinya dan mengingatkannya akan luasnya ampunan dan rahmat Allah sehingga ia tidak putus asa darinya.
Di dalam Islam tidak terdapat “kursi pengakuan dosa”, sebagaimana yang terdapat dalam ajaran umat Kristen. Sebaliknya, ulama Islam selalu menganjurkan kepada kita untuk menutupi aib dan dosa-dosa orang lain sebisa mungkin, karena Allah SWT menyukai hal itu.
Al-Ashbagh bin Nabatah berkata: “Seseorang datang kepada Amirul Mukminin a.s. seraya berkata: `Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku telah berzina, maka sucikanlah diriku ini`. Amirul Mukminin a.s. berpaling darinya, kemudian berkata kepadanya: `Duduklah!` Setelah itu beliau menghadap kepada hadirin seraya berkata : `Ketika salah seorang dari kalian mengerjakan kejelekan ini (zina), apakah ia tidak mampu untuk merahasiakan perbuatan tersebut sebagaimana Allah telah merahasiakannya? `”[9]
Akidah Islam memandang manusia sebagai makhluk mulia yang memiliki kedudukan penting di jagad raya ini. Hal ini dapat diketahui dari kepercayaan Allah kepadanya untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi ini. Oleh karena itu, selayaknya ia melaksanakan tugas tersebut sebaik-baiknya dan bersyukur kepada-Nya atas anugerah agung dan hidayah memeluk agama yang benar ini.
Seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin a.s.: “Mengapa anda cinta untuk bertemu Allah?” Beliau menjawab: “Tatkala aku melihat bahwa Ia telah menganugerahkan kepadaku agama para malaikat, rasul, dan nabi-Nya, aku tahu bahwa Dzat yang telah memuliakanku dengan agama ini, tidak akan melupakanku. Oleh karena itu, aku rindu untuk menjumpai-Nya”.[10]
Kesalahan bukan Karakter Inheren Manusia
Dari sisi lain, akidah Islam memandang kesalahan bukan karakter inheren manusia. Kesalahan adalah sebuah realita yang berada di luar diri manusia. Oleh karena itu, ketika manusia jatuh ke dalam jurang kesalahan, ia tidak akan berubah menjadi syetan yang tidak mungkin menjadi manusia kembali. Akan tetapi, ia tetap menyandang gelar manusia, manusia yang bersalah, dan pintu taubat masih terbuka lebar baginya guna memperbaiki kesalahannya itu.
Ini adalah rahasia pandangan Islam yang agung terhadap manusia. Islam tidak menakut-takutinya dengan teori keinherenan kesalahan, sebagaimana yang diyakini oleh para pemeluk agama Kristen. Islam selalu berusaha untuk mengeluarkan manusia dari lembah kesalahan, mendorongnnya untuk selalu mengangkat nilai dirinya dan mengingatkannya akan luasnya ampunan dan rahmat Allah sehingga ia tidak putus asa darinya.
Di dalam Islam tidak terdapat “kursi pengakuan dosa”, sebagaimana yang terdapat dalam ajaran umat Kristen. Sebaliknya, ulama Islam selalu menganjurkan kepada kita untuk menutupi aib dan dosa-dosa orang lain sebisa mungkin, karena Allah SWT menyukai hal itu.
Al-Ashbagh bin Nabatah berkata: “Seseorang datang kepada Amirul Mukminin a.s. seraya berkata: `Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku telah berzina, maka sucikanlah diriku ini`. Amirul Mukminin a.s. berpaling darinya, kemudian berkata kepadanya: `Duduklah!` Setelah itu beliau menghadap kepada hadirin seraya berkata : `Ketika salah seorang dari kalian mengerjakan kejelekan ini (zina), apakah ia tidak mampu untuk merahasiakan perbuatan tersebut sebagaimana Allah telah merahasiakannya? `”[9]
Manusia adalah Makhluk Mulia
Akidah Islam memandang manusia sebagai makhluk mulia yang memiliki kedudukan penting di jagad raya ini. Hal ini dapat diketahui dari kepercayaan Allah kepadanya untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi ini. Oleh karena itu, selayaknya ia melaksanakan tugas tersebut sebaik-baiknya dan bersyukur kepada-Nya atas anugerah agung dan hidayah memeluk agama yang benar ini.
Seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin a.s.: “Mengapa anda cinta untuk bertemu Allah?” Beliau menjawab: “Tatkala aku melihat bahwa Ia telah menganugerahkan kepadaku agama para malaikat, rasul, dan nabi-Nya, aku tahu bahwa Dzat yang telah memuliakanku dengan agama ini, tidak akan melupakanku. Oleh karena itu, aku rindu untuk menjumpai-Nya”.[10]
[9] Man La Yahduruhul Faqih 4 : 21/31, bab ma yajibu fihit ta’zir wal had, Dar Sha’b, 1401 H.
[10] Al-Khisal : 33, bab al-itsnain, Jama’ah Al-Mudarrisin, Qom.
Baca sambungan entry selanjutnya.
[10] Al-Khisal : 33, bab al-itsnain, Jama’ah Al-Mudarrisin, Qom.
Baca sambungan entry selanjutnya.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !