PERANAN AKIDAH DALAM MEMBINA MANUSIA 5
Sila baca posting yang terdahulu sebelum membaca entry ini.
Peranan Akidah 1Peranan Akidah 2
Peranan Akidah 3
Peranan Akidah 4
2. Mengarahkan dan Memfungsikan Kemampuan Akal
Setelah akidah Islam membebaskan akal dari belenggu-belenggu yang mengikatnya, lantas ia mendorongnya maju ke depan. Yaitu dengan mengarah-kan seluruh kemampuannya untuk berpikir dan merenungkan tentang alam dan kehidupan. Hal ini demi terwujudnya kehidupan yang sempurna baginya, baik kehidupan agama atau dunia.
Kami akan mengutip beberapa ayat Alquran yang mengajak akal untuk merenungkan cakrawala alam yang luas dan beraneka ragam ini:
Pertama, ayat yang mengajak akal untuk merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah SWT di jagad raya dan jiwa.
Allah swt berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّليْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأُولِي اْلأَلْبَابِ | الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَـفَكَّرُوْنَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk dan dalam keadaan berbaring, dan merenungkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau! Maka peliharalah kami dari siksa neraka”).[46]
Allah berfirman:
وَفِي اْلأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوْقِنِيْنَ | وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ
(Dan di bumi ini terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? ).[47]
Allah berfirman: “Katakanlah: `Perhatikanlah apa yang ada di lagnit dan di bumi`”.[48]
Allah berfirman: “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan”.[49]
Allah berfirman: “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya”.[50]
Allah berfirman: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana diciptakan, gunung-gunung, bagaimana ditegakkan, dan bumi, bagaimana dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena kamu hanyalah orang yang memberi peringatan”.[51]
Patut diperhatikan, Alquran sering menceritakan tentang alam dan rahasia penciptaannya di beberapa surah dengan metode pemaparan yang berbeda-beda, dan mengajak manusia untuk melihat dan merenungkan segala fenomena yang terjadi di dalamnya. Dan yang lebih penting dari itu semua, Alquran menjadikan alam ini sebagai garis start untuk menuju Allah, Penciptanya.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saww sering membaca ayat:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأُولِي اْلأَلْبَابِ | الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَى جُنُوْبِهِمْ وَ يَتَفَكَّرُوْنَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
Kemudian beliau bersabda : “Celakalah bagi orang yang membacanya tetapi tidak mau merenungkannya”.
Imam Ali a.s. berkata: “Rasulullah saww ketika bangun malam, beliau menggosok gigi, kemudian beliau menengadahkan wajahnya ke langit dan membaca:[52]
Dan para imam a.s. dalam membuktikan keberadaan Allah, menganjurkan para pengikut mereka untuk merenungkan alam dan undang-undang teratur yang berjalan di dalamnya. Argumentasi ini di kalangan para ahli ilmu teologi dikenal dengan nama “dalil an-nadhm” (argumentasi keteraturan alam).
Amirul Mukminin a.s. berkata: “Jika mereka mau merenungkan kekuatan dan ni’mat (Allah) yang agung (yang telah dianugerahkan kepada para hamba-Nya), niscaya mereka akan kembali ke jalan yang benar dan takut siksa neraka. Akan tetapi, hati dan sanubari mereka telah dihinggapi penyakit (pengingkaran terhadap kebenaran). Apakah mereka tidak mau merenungkan tentang makhluk kecil yang telah Ia ciptakan dengan bentuk dan susunan yang sempurna, dan memberikan penglihatan, pendengaran, tulang dan kulit kepadanya?
Lihatlah semut yang kecil tubuhnya dan lembut bentuknya. Binatang kecil ini hampir-hampir tidak dapat dilihat oleh mata dan dijangkau oleh akal manusia. (Lihatlah) bagaimana ia berjalan di atas bumi mencari rizkinya. Jika engkau merenungkan alat pencernaan makanannya, tinggi dan rendahnya, sarana-sarana menakjubkan yang terdapat di perut, kepala dan telinganya, engkau akan terheran-heran memikirkan penciptaannya dan tidak akan mampu untuk mengungkapkan keajaibannya.
Lihatlah matahari dan bulan, gelombang ombak di lautan, beranekaragamnya gunung, memanjangnya puncak-puncak dan perbedaan bahasa dan logat berbicara ...
Celakalah bagi orang yang mengingkari adanya Dzat penentu Qadar dan membohongkan Dzat yang mengatur (alam ini). Mereka menyangka bahwa mereka adalah bak tetumbuhan (yang tumbuh sendiri) tanpa penanam dan beranekaragamnya wajah mereka (timbul dengan sendirinya) tanpa ada orang yang membuatnya. Sebenarnya mereka tidak memiliki argumentasi dan riset yang kuat untuk membenarkan sangkaan mereka itu.
Apakah mungkin terwujud sebuah bangunan tanpa ada orang yang membangunnya dan sebuah kriminalitas tanpa ada orang yang bertindak kriminalitas itu?!”[53]
Dari sisi lain, Alquran sendiri mendorong manusia untuk berpikir. Dalam hal ini, terkadang Alquran menggunakan bentuk ‘istifham inkari’ (yang digunakan untuk membatalkan keyakinan seseorang secara tidak langsung). Seperti firman Allah yang berbunyi:
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَتُرْجَعُوْنَ
(Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptaknmu dengan sia-sia dan kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?).[54]
Dan kadang kala Alquran secara langsung membatalkan keyakinan orang-orang yang meyakini bahwa manusia diciptakan secara sia-sia (tidak melalui jalan istifham inkari). Seperti firman Allah yang berbunyi:
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا لاَعِبِيْنَ | مَا خَلَقْنَاهُمَا إِلاَّ بِالْحَقِّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَيَعْلَمُوْنَ
(Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan main-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan hak. Akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui). [55]
Mazhab Ahlul Bayt a.s. menganggap berpikir dan merenungkan tentang langit dan bumi itu sebagai ibadah, dan bahkan ibadah yang paling utama.
Berkaitan dengan hal ini Imam Ash-Shadiq a.s. berkata:
أَفْضَلُ الْعِبَادَةِ إِدْمَانُ التَّفَكُّرِ فِي اللهِ وَفِي قُدْرَتِهِ
(Ibadah yang paling utama adalah senantiasa merenungkan tentang Allah dan kekuasaan-Nya) .[56]
Dan para pengikut Ahlul Bayt a.s. senantiasa memperbanyak ibadah ini sehingga hal itu mampu memberikan sumbangsih secara aktif dalam membangun manusia dan mengantarkannya menuju derajat spiritual yang tinggi. Sebagai contoh, mayoritas ibadah Abu Dzar r.a. adalah berpikir dan mengambil pelajaran (‘ibrah) dari orang lain.
Ibu Abu Dzar ketika ditanya tentang ibadah anaknya itu menjawab : “Hari-harinya ia isi dengan merenungkan tentang satu sisi dari sekian banyak sisi yang dimiliki oleh manusia”.[57]
Patut diketahui, cara memandang alam wujud sebagaimana yang telah dibimbing oleh Alquran dan ‘Itrah (keluarga Rasulullah saww) adalah dasar utama bagi seluruh cara berpikir manusia dan tingkah lakunya. Oleh karena itu, dengan berbedanya cara memandang alam wujud itu, muncullah keanekaragaman peradaban dan kebudayaan.
Kedua, ayat-ayat yang mengajak akal untuk merenungkan masa lalu sejarah. (Pada masa kini metode ini dikenal dengan nama “filsafat sejarah”).
Akidah Islam mengajak kita untuk merenungkan peristiwa-peristiwa sejarah dengan penuh jeli dan teliti dengan tujuan supaya kita dapat mengetahui faktor-faktor kehancuran dan kesuksesan sebuah masyarakat dan peradaban.
Allah SWT berfirman :
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيْرُوْا فِي اْلأَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ
(Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Oleh karena itu, berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikan bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan rasul-Nya).[ 58]
Dalam ayat yang lain Ia berfirman: “Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi-generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka. Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain”.[59]
Allah juga berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan umat-umat sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, padahal para rasul telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterang an yang nyata, akan tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa”.[60]
Ayat-ayat di atas adalah seruan bagi manusia untuk memfungsikan kemampuan akalnya dan merenungkan sejarah umat-umat masa lampau sehingga ia tidak seperti kambing-kambing liar yang berjalan tanpa penggembala menuju satu tujuan yang tak menentu.
Ayat-ayat di atas adalah seruan bagi manusia untuk mengambil pelajaran dari pengalaman-pengalam an peradaban masa lampau dan faktor-faktor kehancurannya. Karena peristiwa-peristiwa sejarah itu akan terulang kembali.
Allah SWT berfirman :
سُنَّةَ اللهِ فِي الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللهِ تَبْدِيْلاً
(Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelummu, dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah).[61]
Dan patut diperhatikan bahwa “peranan agama dan tanggung jawabnya dalam kehidupan manusia adalah mewujudkan suasana yang romantis dan serasi antara perilaku dan cara berpikir manusia dengan sunnah Allah yang berjalan dalam kehidupan ini sebagai undang-undang bagi makhluk-Nya di alam ini.[62]
Atas dasar ini, agama mengarahkan pemikiran manusia untuk merenungkan segala sesuatu secara mendalam dan terarah. Dan tentunya terdapat perbedaan yang mendasar antara pandangan yang dangkal terhadap kehidupan dan sejarah dengan pandangan yang dalam dan teliti yang tidak hanya ingin melihat suatu peristiwa secara sekilas. Akan tetapi, pandangan tersebut ingin meneliti dan menelusuri sejarah itu hingga ke akar-akarnya dengan tujuan untuk mengambil sebuah pelajaran berharga dari sejarah tersebut.
Sebagai contoh sederhana, seorang pelancong yang sedang berjalan melewati piramida-piramida Mesir yang megah, ia akan terpesona oleh keindahan arsitektur bangunan dan kemegahannya. Dan semua ini akan berakhir sampai di situ saja.
Berbeda dengan seorang perenung yang berakidah. Ketika ia berjalan melewati piramida-piramida itu, akan muncul kesimpulan-kesimpul an berikut ini di benaknya: kemampuan dan kekuatan manusia (dalam mewujudkan kemegahan itu), kezaliman dinasti Fir’aun dengan cara memaksa sejumlah besar tenaga manusia untuk membangun pramida tersebut dan tega menyiksa orang-orang lemah tersebut dengan beraneka ragam siksa. Di samping itu, ia akan mengambil pelajaran dari pengingkaran dinasti Fir’aun akan realitas kematian dan hari kebangkitan (dengan cara membangun piramida-piramida sebagai pelindung mayat-mayat mereka). Dengan ini, ia akan mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dengan melihat kemegahan itu.
Oleh karena itu, Ahlul Bayt a.s. menekankan pentingnya merenungkan segala sesuatu secara mendalam dan teliti.
Hasan Ash-Shaiqal berkata: “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah a.s.: `Apakah berpikir sesaat itu lebih baik dari beribadah semalam suntuk?` Beliau menjawab: `Betul. Rasulullah saww bersabda:
تَفَكُّرُ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ قِيَامِ لَيْلَةٍ
(Berpikir sesaat lebih baik dari beribadah semalam suntuk)”.[63]
Ketika Amirul Mukminin a.s. berjalan melewati reruntuhan kota Al-Mada`in, beliau menganjurkan para sahabat untuk mengambil pelajaran dari sejarah. Beliau berkata:
إِنَّ هَؤُلاَءِ الْقَوْمَ كَانُوْا وَارِثِيْنَ فَأَصْبَحُوْا مَوْرُوْثِيْنَ، وَإِنَّ هَؤُلاَءِ الْقَوْمَ اسْتَحَلُّوا الْحُرُمَ فَحَلَّتْ فِيْهِمُ النِّقَمُ، فَلاَتَسْتَحِلُّوا الْحُرُمَ فَتَحُلَّ بِكُمُ النِّقَمُ
(Dahulu mereka adalah pewaris umat yang sebelum mereka, dan kini mereka diwarisi oleh umat setelah mereka. Dan mereka telah menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah. Oleh karena itu, siksaan telah menimpa mereka. Maka janganlah kamu menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah, karena siksaan akan menimpa kamu).[64]
Dalam kesempatan lain beliau berkata:
فَاعْتَبِرُوْا بِمَا أَصَابَ اْلأُمَمَ الْمُسْتَكْبِرِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ مِنْ بَأْسِ اللهِ وَصَوْلاَتِهِ، وَوَقَائِعِهِ وَمَثُلاَتِهِ
(Belajarlah dari siksa dan azab Allah yang telah menimpa umat yang sombong sebelum kalian).[65]
Lebih dari itu, beliau juga mengingatkan bahwa ancaman dan siksaan berlaku untuk semua lapisan masyarakat, baik yang kafir atau mukmin, dan di segala tempat dan kesempatan. Hal ini terjadi ketika mukminin sudah tidak memperdulikan ajaran-ajaran agama dan menjauh dari jalan yang benar. Sebagai salah satu contoh ketidakperdulian mereka itu adalah memasyarakatnya perpecahan di kalangan mereka.
Berkenaan dengan hal di atas beliau berkata: “Lihatlah mukminin sebelum kalian, bagaimana mereka berhasil menghadapi bala` dan cobaan? Renungkan, ketika tujuan dan keinginan mereka satu, (mereka berhasil dalam menghadapi cobaan hidup). Dan lihatlah akibat mereka ketika mereka berpecah belah dan saling memerangi saudaranya yang lain. Allah telah melucuti baju kemuliaan dari badan mereka dan mencabut ni’mat-Nya yang luas dari (kehidupan) mereka. Kisah mereka (yang menyedihkan ini) hendaknya menjadi pelajaran bagi orang-orang yang ingin mengambil pelajaran (dari sejarah)”.[66]
Dan di antara wasiat emas beliau a.s. untuk putranya, Imam Hasan a.s. beliau menganjurkannya untuk merenungkan peristiwa-peristiwa yang telah menimpa umat-umat masa lampau. Beliau berkata:
أَيْ بُنَيَّ، إِنِّي وَإِنْ لَمْ أَكُنْ عُمِّرْتُ عُمْرَ مَنْ كَانَ قَبْلِي، فَقَدْ نَظَرْتُ فِي أَعْمَالِهِمْ وَفَكَّرْتُ فِي أَخْبَارِهِمْ وَسِرْتَ فِي آثَارِهِمْ، حَتَّى عُدْتُ كَأَحَدِهِمْ، بَلْ كَأَنِّي بِمَا انْتَهَى اِلَيَّ مِنْ أُمُوْرِهِمْ قَدْ عُمِّرْتُ مَعَ أَوَّلِهِمْ إِلَى آخِرِهِمْ.
(Wahai anakku, meskipun aku tidak hidup sezaman dengan orang-orang sebelumku, akan tetapi aku dapat melihat perbuatan-perbuatan mereka, merenungkan kisah-kisah mereka dan menapaki jejak mereka, sehingga aku seperti pernah hidup di antara mereka. Dan bahkan - karena aku mengetahui segala peristiwa yang telah menimpa mereka - seolah-olah aku diberi umur seperti umur mereka).[67]
Ketiga, ayat-ayat yang menganjurkan kita untuk merenungkan hikmah yang tersembunyi di balik hukum-hukum syariat.
Hal itu ditujukan untuk menguatkan keyakinan seorang muslim akan kelanggengan agamanya dan validitas agama tersebut untuk diterapkan di setiap tempat dan zaman. Hal ini dimaksudkan agar awan-awan syubhah tersingkirkan dari cakrawala pemikirannya.
Hukum-hukum Islam kadang kala bersifat tauqifi yang kita tidak akan mampu untuk mengetahui rahasianya, seperti hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah, dan kadang kala hukum-hukum tersebut memiliki sisi sosial yang Alquran telah menyingkap hikmah yang tersembunyi di balik hukum-hukum itu, dan karena suatu maslahat yang akan kembali kepada individu dan masyarakat di balik penyingkapan itu, seperti firman Allah:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُولِي اْلأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
(Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa). [68]
Dalam ayat yang lain Ia berfirman:
مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ
(Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Ia ingin membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu).[69]
Begitu juga sunnah telah menyingkap hikmah-hikmah hukum-hukum tersebut di atas. Imam Ali bin Musa Ar-Ridla a.s. menulis surat kepada Muhammad bin Sinan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanya annya: “Allah mengharamkan membunuh orang lain, karena jika pembunuhan tersebut dihalalkan, kekacauan akan menimpa makhluk bumi ini, dan hal itu akan menyebabkan kebinasaan mereka. Dan Allah mengharamkan zina, karena hal itu akan menyebabkan binasanya jiwa, tidak jelasnya garis keturunan dan harta waris, tidak terjaminnya pendidikan anak-anak (yang lahir dari zina itu) dan lain sebagainya.[ 70]
Keempat, ayat-ayat yang menyeru akal manusia untuk merenungkan (apa yang ada di alam ini), berpendirian teguh, mandiri dalam berpikir dan melangkah ke depan dengan mantap.
Rasulullah saww bersabda: “Janganlah kamu menjadi orang yang tidak memiliki pendirian. Jika masyarakat berbuat baik kepadanya, ia akan membalas kebaikan tersebut, dan jika mereka menzaliminya, ia akan membalas kezaliman itu. Akan tetapi mantapkanlah pendirian kalian. Jika masyarakat berbuat baik kepada kalian, balaslah kebaikan mereka, dan jika mereka menzalimi kalian, janganlah kalian balas kezaliman tersebut dengan kezaliman yang serupa”.[71]
Allah berfirman:
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوْبٍ أَقْفَالُهَا
(Maka apakah mereka tidak mau merenungkan Alquran, ataukah hati mereka terkunci ?).[72]
Ayat di atas adalah seruan yang sangat menyentuh sanubari bagi kita untuk senantiasa berpikir dan merenungkan. Hal ini dapat dipahami dari: pertama, penolakan Alquran terhadap orang-orang yang berpikiran dangkal (tidak mau merenungkan secara mendalam) dan menentang kebenaran, dan kedua, kritikan yang keras nan tegas terhadap kelompok manusia itu.
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
قُلْ هَاتُوْا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
(Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar).[73]
Atas dasar ayat tersebut, sebuah klaim tidak akan memiliki nilai jika tidak dilandasi oleh argumentasi yang benar. Dan jika Zamakhsyari meyakini bahwa ayat di atas adalah dalil terkuat untuk menghancurkan pondasi mazhab para muqallid[74] (orang-orang yang mengikuti pendapat orang lain yang dipercayainya) , akan tetapi kandungan ayat lebih dari itu, (yaitu tidak khusus hanya menyeru para muqallid untuk membuktikan klaim mereka dengan argumentasi yang benar). Karena ayat tersebut menyeru seluruh manusia yang berlatar belakang pemikiran berbeda-beda. Para pemikir kawakanpun, dikarenakan kekeliruan mereka meyakini formulasi-formulasi universal sebagai suatu yang badihiy, padahal tidak demikian, mungkin mengalami kekeliruan. Dan hal itu sering kali dialami oleh para ahli debat, dan kadang kala kekeliruan-kekeliru an tersebut terjadi pada ilmu pragmatis (terapan) ketika kita meyakini kesimpulan-kesimpul an yang kita peroleh telah dilandasi oleh formulasi-formulasi ilmiah yang permanen, padahal kesimpulan-kesimpul an tersebut hanya dilandasi oleh penelitian yang serba kurang.
Oleh karena itu, kita dapat memahami rahasia himbauan Alquran kepada kita untuk selalu membuktikan seluruh klaim kita dengan argumentasi yang kuat, baik yang berhubungan dengan ilmu akal atau ilmu pragmatis.
Dan tidak diragukan lagi bahwa medan untuk berpikir adalah luas seluas medan ilmu pengetahuan.
Ketika kita meneliti dalil-dalil yang berhubungan dengan masalah ini, kita dapat menggolongkannya ke dalam dua bagian:
1. Dalil-dalil yang menyeru seluruh lapisan masyarakat secara umum, baik ilmuwan atau masyarakat awam (untuk membuktikan klaim-klaim mereka dengan argumentasi, bukan dengan jalan taklid), meskipun secara sepintas dalil-dalil tersebut hanya ditujukan kepada masyarakat awam. Seperti ayat di atas.
2. Dalil-dalil yang berhubungan dengan janis khusus taklid. Yaitu bertaklid buta kepada pribadi-pribadi tertentu yang memiliki nama baik di kalangan masyarakat, dan seakan-akan mereka adalah tolok ukur kebenaran yang seluruh ucapan dan perilaku mereka tidak layak untuk dikoreksi. Dalil-dalil ini mengecam taklid jenis ini, karena taklid tersebut akan memusnahkan peran akal.
Jenis taklid inilah yang selalu menjerumuskan manusia ke dalam jurang kesalahan. Amirul Mukminin a.s. telah berusaha sekuat tenaga untuk memerangi jenis taklid ini dengan menunjukkan metode yang benar untuk mencari dan mengetahui kebenaran. Ketika sebagian sahabat yang bingung melihat Thalhah, Zubair dan A’isyah bersatu memerangi beliau dan mereka menyangka bahwa ketiga orang tersebut tidak mungkin akan bersatu dalam kesalahan, datang menemui beliau, beliau menjawab dengan tegas:
إِنَّكَ مَلْبُوْسٌ عَلَيْكَ، إِنَّ دِيْنَ اللهَ لاَيُعْرَفُ بِالرِّجَالِ، بِلْ بِآيَةِ الْحَقِّ، فَاعْرِفِ الْحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ
(Kamu keliru, karena tolok ukur agama Allah bukan orang-orang yang memeluknya, akan tetapi tolok ukurnya adalah haq (kebenaran). Oleh karena itu, ketahuilah hakekat kebenaran terlebih dahulu, niscaya kamu akan mengetahui orang-orangnya) .[75]
Kelima, ayat-ayat yang menyeru manusia untuk menggali ilmu pengetahuan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa agama Islam menganjurkan para pengikutnya untuk menggali ilmu pengetahuan. Banyak ayat-ayat Alquran yang menyinggung hal ini, baik secara langsung atau tidak.
Allah berfirman:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُوا اْلأَلْبَابِ
(Katakanlah: “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang-orang berakallah yang dapat menerima pelajaran”).[76]
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
(Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan).[77]
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
(Dan katakanlah : “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”).[78]
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
(Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba- Nya hanyalah ulama).[79]
Dan karena pentingnya ilmu, Allah SWT telah mengambil perjanjian dari ahli kitab untuk menjelaskan dan menyebarkannya (di kalangan masyarakat). Ia berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ اللهُ مِيْثَاقَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ لَتُبَـيَّنُـنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَتَكْـتُمُوْنَهُ ...
(Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberikan kitab, yaitu “Hendaknya kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan jangan menyembunyikannya ...”).[80]
Hadis-hadis Rasulullah saww dan Ahlul Bayt a.s. juga menekankan bahwa ilmu adalah tiang penyanggah agama, dan dengan ilmu Islam akan hidup. Oleh karena itu, mereka menganjurkan kita untuk selalu menggalinya. Tinta ulama dalam pandangan Islam lebih utama dari darah syuhada`, keutamaan orang alim dibandingkan dengan keutamaan ahli ibadah bak keutamaan bulan atas seluruh bintang. Dalam kaitannya dengan hal ini Rasulullah saww bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ أَفْضَلُ عِنْدَ اللهِ مِنَ الصَّلاَةِ وَالصِّيَامِ وَالْحَجِّ وَالْجِهَادِ فِي سَبِيْلِ اللهِ
(Mencari ilmu lebih utama di sisi Allah SWT dari shalat, puasa, haji dan jihad di jalan-Nya).[ 81]
Imam Ali a.s. berkata:
قِيْمَةُ كُلِّ امْرِئٍ مَا يُحْسِنُهُ
(Nilai setiap individu tergantung kepada kebaikan yang ia kerjakan dengan sebaik-baiknya) .[82]
Perhatikanlah pesan Imam Ali a.s. kepada Kumail bin Ziyad An-Nakha’i di bawah ini ketika beliau membandingkan nilai ilmu pengetahuan dengan harta benda:
يَا كُمَيْلُ، اَلْعِلْمُ خَيْرٌ مِنَ الْمَالِ، اَلْعِلْمُ يَحْرُسُكَ وَأَنْتَ تَحْرُسُ الْمَالَ، وَالْمَالُ تَنْقُصُهُ النَّفَقَةُ وَالْعِلْمُ يَزْكُوْ عَلَى اْلإِنْفَاقِ، وَصَنِيْعُ الْمَالِ يَزُوْلُ بِزَوَالِهِ. يَا كُمَيْلُ بْنُ زِيَادٍ، مَعْرِفَةُ الْعِلْمِ دِيْنٌ يُدَانُ بِهِ، بِهِ يَكْسِبُ اْلإِنْسَانُ الطَّاعَةَ فِي حَيَاتِهِ وَجَمِيْلَ اْلأُحْدُوْثَةِ بَعْدَ وَفَاتِهِ، وَالْعِلْمُ حَاكِمٌ وَالْمَالُ مَحْكُوْمٌ عَلَيْهِ. يَا كُمَيْلُ، هَلَكَ خُزَّانُ اْلأمْوَالِ وَهُمْ أَحْيَاءُ وَالْعُلَمَاءُ بَاقُوْنَ مَا بَقِيَ الدَّهْرُ، أَعْيَانُهُمْ مَفْقُوْدَةٌ وَأَمْثَالُهُمْ فِي الْقُلُوْبِ مَوْجُوْدَةٌ
(Wahai Kumail, ilmu lebih baik daripada harta. Karena ilmu itu akan menjagamu, sementara harta, kamu yang harus menjaganya. Harta akan berkurang dengan menginfakannya, sementara ilmu akan bertambah dengannya. Pemilik harta akan sirna dengan sirnanya harta. Wahai Kumail, ilmu adalah perantara manusia untuk beragama yang benar. Dengan ilmu manusia dapat menjalankan ketaatan dalam hidupnya dengan sebaik-baiknya, dan akan menjadi buah bibir masyarakat setelah ia meninggal dunia. Ilmu adalah hakim (yang dapat menentukan yang baik dan buruk), sedangkan harta akan dihakimi. Wahai Kumail, orang-orang yang menyimpan harta adalah mati meskipun mereka masih hidup, dan ulama akan abadi sepanjang masa. Meskipun tubuh mereka telah tiada, akan tetapi kenangan-kenangan mereka masih bersemayam di dalam sanubari).[83]
Dan bertolak dari bekal pengetahuan dan himbauan-himbauan Ahlul Bayt a.s. yang kaya ini, insan muslim akan berusaha menyelamatkan dirinya dari lembah kebodohan dan keterbelakangan menuju ke puncak piramida pengetahuan. Maka mulailah ia merenungkan fenomena-fenomena alam dan menyingkap rahasia-rahasianya dengan menggunakan metode eksperimen lapangan (manhaj tajribi) yang pada masa kini menjadi kebanggaan ilmu pengetahuan modern.
Gibb berkata dalam bukunya Al-Ittijahat Al-Haditsah fil Islam (Teori-teori Baru dalam Islam): “Menurut pendapat saya, sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa penelitian dan eksperimen yang dilakukan oleh para ilmuwan Islam secara teliti telah membantu kemajuan pengetahuan ilmiah. Dan dikarenakan oleh penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan Islam itu, metode eksperimen lapangan (dalam ilmu pengetahuan) telah memasyarakat di Eropa pada abad pertengahan”.[84]
Oleh karena itu, selayaknya kita berbangga diri dengan keagungan akidah Islam yang telah mampu menciptakan revolusi peradaban dalam jiwa putera-putera padang sahara ini sehingga mereka menjadi cermin seluruh dunia dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban.
[46] Ali Imran 3 : 190-191.
[47] Adz-Dzariyat 51 : 21-22.
[48] Yunus 10 : 101.
[49] Ath-Thariq 86 : 5.
[50] ‘Abasa 80 : 24.
[51] Al-Ghasyiyah 88 : 17-21.
[52] Al-Kasysysaf, Zamakhsyari 1 : 453.
[53] Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 270-271.
[54] Al-Mukminun 23 : 115
[55] Ad-Dukhan 44 : 38-39.
[56] Ushulul Kafi 2 : 55/3, kitab al-Iman wa al-Kufr.
[57] Tanbihul Khawatir, Al-Amin Warram bin Abi Firas 1 : 250, bab at-Tafakkur, Dar Sha’b.
[58] Ali Imran 3 : 137.
[59] Al-An’am 6 : 6.
[60] Yunus 10 : 13.
[61] Al-Ahzab 33 : 62.
[62] Dauruddin fi Hayatil Insan, Syekh Mahdi Al-Asifi : 122-123, Darut Ta’aruf, cet. 2.
[63] Biharul Anwar71:325, diriwayatkan dari kitab Al-Mahasin : 26.
[64] Kanzul ‘Ummal16 : 205.
[65] Nahjul Balaghah,Shubhi Shalih : 290.
[66] Nahjul Balaghah: 296-297.
[67] Ibid : 393 - 394.
[68] Al-Baqarah2 : 179.
[69] Al-Ma`idah5 : 6.
[70] Man La Yahduruhul Faqih 3 : 369.
[71] Mizanul Hikmah 8 : 254, diriwayatkan dari kitab At-Targhib wat Tarhib 3 : 341.
[72] Muhammad 47 :24.
[73] Al-Baqarah2 : 111, An-Naml 27 : 64.
[74] Al-Kasysysaf 1 : 178.
[75] AmaliAth-Thusi : 625/1292, Muassasah Al-Bi’tsah; Biharul Anwar 39 :239/28.
[76] Az-Zumar 39 : 9.
[77] Al-Mujadalah 58 : 11.
[78] Thaha 20 : 114.
[79] Fathir 35 : 28.
[80] Ali Imran 3 :187.
[81] Kanzul ‘Ummal10 : 131/28655.
[82] Nahjul Balaghah,Shubhi Shalih : 482/hikmah 81.
[83] Ibid :496/hikmah 147.
[84] Manhajut Tarbiah Al-Islamiyah, M. Qutub : 119, Dar Dimasyq, cet 2.
Baca sambungan entry selanjutnya.Peranan Akidah 6
[47] Adz-Dzariyat 51 : 21-22.
[48] Yunus 10 : 101.
[49] Ath-Thariq 86 : 5.
[50] ‘Abasa 80 : 24.
[51] Al-Ghasyiyah 88 : 17-21.
[52] Al-Kasysysaf, Zamakhsyari 1 : 453.
[53] Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 270-271.
[54] Al-Mukminun 23 : 115
[55] Ad-Dukhan 44 : 38-39.
[56] Ushulul Kafi 2 : 55/3, kitab al-Iman wa al-Kufr.
[57] Tanbihul Khawatir, Al-Amin Warram bin Abi Firas 1 : 250, bab at-Tafakkur, Dar Sha’b.
[58] Ali Imran 3 : 137.
[59] Al-An’am 6 : 6.
[60] Yunus 10 : 13.
[61] Al-Ahzab 33 : 62.
[62] Dauruddin fi Hayatil Insan, Syekh Mahdi Al-Asifi : 122-123, Darut Ta’aruf, cet. 2.
[63] Biharul Anwar71:325, diriwayatkan dari kitab Al-Mahasin : 26.
[64] Kanzul ‘Ummal16 : 205.
[65] Nahjul Balaghah,Shubhi Shalih : 290.
[66] Nahjul Balaghah: 296-297.
[67] Ibid : 393 - 394.
[68] Al-Baqarah2 : 179.
[69] Al-Ma`idah5 : 6.
[70] Man La Yahduruhul Faqih 3 : 369.
[71] Mizanul Hikmah 8 : 254, diriwayatkan dari kitab At-Targhib wat Tarhib 3 : 341.
[72] Muhammad 47 :24.
[73] Al-Baqarah2 : 111, An-Naml 27 : 64.
[74] Al-Kasysysaf 1 : 178.
[75] AmaliAth-Thusi : 625/1292, Muassasah Al-Bi’tsah; Biharul Anwar 39 :239/28.
[76] Az-Zumar 39 : 9.
[77] Al-Mujadalah 58 : 11.
[78] Thaha 20 : 114.
[79] Fathir 35 : 28.
[80] Ali Imran 3 :187.
[81] Kanzul ‘Ummal10 : 131/28655.
[82] Nahjul Balaghah,Shubhi Shalih : 482/hikmah 81.
[83] Ibid :496/hikmah 147.
[84] Manhajut Tarbiah Al-Islamiyah, M. Qutub : 119, Dar Dimasyq, cet 2.
Baca sambungan entry selanjutnya.Peranan Akidah 6
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !